Surabaya, Gardu.id – Kekalahan Garuda di tanah Arab bukan akhir perjalanan, melainkan panggilan untuk membangun fondasi sepak bola yang lebih kokoh dan berjangka panjang.
Harapan besar publik sepak bola Indonesia untuk melihat Garuda terbang di panggung Piala Dunia kembali pupus di tanah Arab.
Dua kekalahan beruntun dari Arab Saudi dan Irak pada putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Jeddah menjadi babak pahit yang harus ditelan dengan kepala tegak.
Mimpi yang dirajut dengan doa, kerja keras, dan gelombang optimisme rakyat Indonesia sementara ini harus kembali tertunda.
Namun, kegagalan di Jeddah bukan sekadar urusan skor atau peluang yang tak menjadi gol. Ia adalah cermin betapa panjang dan terjal jalan yang harus ditempuh sepak bola nasional untuk benar-benar sejajar dengan kekuatan besar Asia.
Semangat juang para pemain memang tidak luntur, kualitas permainan meningkat, tapi perbedaan dalam hal kedalaman skuad, pengalaman, dan kematangan strategi masih terlihat mencolok di setiap lini.
Federasi dan pelatih tentu tidak bisa berlindung di balik alasan nasib atau tekanan laga tandang. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan—mulai dari pembinaan usia muda, sistem kompetisi domestik, hingga regenerasi pemain tim nasional.
Piala Dunia bukanlah tujuan yang bisa diraih dengan ledakan semangat sesaat, melainkan buah dari sistem yang tertata, konsisten, dan berkelanjutan.
Indonesia perlu belajar dari negara-negara lain yang juga pernah mengalami jalan panjang menuju Piala Dunia. Kanada harus menunggu 36 tahun setelah debutnya pada 1986 sebelum kembali lolos ke Qatar 2022.
Maroko pernah absen dua dekade sebelum akhirnya tampil kembali dan bahkan menorehkan sejarah sebagai semifinalis di 2022. Islandia, negara kecil berpenduduk 350 ribu jiwa, baru merasakan atmosfer Piala Dunia pada 2018 setelah 64 tahun menunggu.
Semua kisah itu menunjukkan satu hal: tidak ada jalan pintas menuju panggung dunia. Keberhasilan lahir dari konsistensi, investasi jangka panjang, dan sistem pembinaan yang menyeluruh.
Bagi Indonesia, kekalahan di Jeddah seharusnya menjadi momentum introspeksi kolektif—antara realita kemampuan saat ini dan visi besar yang ingin dicapai. Garuda bukan lagi tim penggembira seperti dua dekade lalu.
Kini, skuad Indonesia sudah mampu menatap lawan dengan mata sejajar. Meski belum menang, keberanian bermain terbuka melawan tim seperti Irak dan Arab Saudi menunjukkan perubahan mentalitas yang penting: rasa percaya diri untuk bersaing.
Lebih dari sekadar hasil, penting bagi publik dan federasi untuk memelihara optimisme jangka panjang. Sebab di balik kekalahan hari ini, tersimpan generasi pemain yang sedang tumbuh menuju masa emasnya.
Nama-nama seperti Ivar Jenner (21 tahun), Justin Hubner (22 tahun), Marselino Ferdinan (21 tahun), Jay Idzes (25 tahun), dan Ole Romeny (25 tahun) akan berada pada usia terbaiknya saat Piala Dunia 2030. Bahkan di bawah mistar, Indonesia memiliki penjaga gawang berkelas seperti Maarten Paes (27 tahun) dan Emil Audero (28 tahun), yang pada 2030 akan berada di usia matang dan sarat pengalaman.
Mereka adalah fondasi generasi baru sepak bola Indonesia—kombinasi pemain muda lokal dan naturalisasi yang menjadi simbol perubahan paradigma.
Jika federasi mampu menjaga kesinambungan pembinaan dan memperkuat ekosistem kompetisi domestik, generasi ini berpotensi membawa Indonesia melangkah lebih jauh dalam kualifikasi berikutnya.
Namun, keberhasilan tidak akan datang hanya dari individu. Ia menuntut sistem yang kuat di bawahnya: akademi yang hidup, pelatih berlisensi yang tersebar di seluruh daerah, serta kompetisi usia muda yang berkelanjutan dan kompetitif.
Tidak kalah penting, kejelasan arah dari federasi dan klub dalam membangun filosofi permainan nasional yang konsisten dari level junior hingga senior.
Kegagalan menuju Piala Dunia 2026 seharusnya tidak membuat semangat bangsa ini padam. Justru di padang pasir Jeddah inilah ujian sejati ditempa—antara menyerah pada kenyataan, atau meneguhkan tekad untuk bangkit lebih kuat.
Garuda memang jatuh, tapi sayapnya tidak patah. Ia hanya menyiapkan diri untuk terbang lebih tinggi di waktu yang tepat. Perjalanan ke Piala Dunia mungkin tertunda, tetapi mimpi itu belum berakhir.
Seperti padang pasir yang menahan benih hingga datangnya hujan, sepak bola Indonesia pun tengah menunggu saat terbaik untuk mekar. Dari Jeddah, semoga lahir kesadaran baru bahwa mimpi besar tidak akan pernah mati—selama bangsa ini mau belajar, berbenah, dan percaya bahwa waktunya akan tiba.